September 11, 2009

Negeri Tanpa Nurani

Negeri Ini Kering Nurani

alhikmah.com - Senja itu di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta sedang berlangsung ujian pertengahan semester. Ujian belum mulai dan para mahasiswa terlihat bersiap-siap mengikuti ujian tersebut. Ada yang sekedar membaca buku pegangan, ada yang menghafal. Bahkan terlihat seorang mahasiswi yang sedang menyalin apa yang ada di buku tersebut di papan kerja di kurisnya. Bisa jadi karena sudah menjadi hal yang biasa dilakukan untuk mata kuliah tertentu, hal ini dianggap suatu kewajaran. Tapi kejadian ini lebih menyedihkan lagi karena yang menyalin tersebut adalah muslimah berjilbab. Dan mata kuliah yang sedang diujikan adalah Agama Islam.!

Negeri Ini Nurani Terhimpit Materi

Di belahan wilayah kehidupan yang lain, di sisi gedung-gedung menjulang nan megah, di antara gemerlapnya keihdupan kota dan kerasnya kehidupan itu sendiri. Sepasang suami istri beserta dua anaknya sedang lahapnya menyantap rizki makan siangnya yang berupa dua bungkus nasi dengan sepotong tempe dan ditemani seplastik air putih. Langit adalah atap rumah mereka sementara bumi adalah alasnya sudah biasa mereka jalani. Berpindah-pindah dari satu petak lahan kosong dipinggir kali yang dapat dijadikan lahan untuk tanaman lalapan sekedar bertahan untuk hidup.

Negeri Ini Nurani Bisa Dibeli

Adegan dagelan yang tak lucu juga berlangsung di negeri ini. Sebagian besar komunitas yang merasa mewakili hampir 210 juta manusia dengan dalih mempertahankan integritas bangsa menjilat ludah yang sudah dikeluarkan. Berteriak reformis padahal oprtunis. Undang-undang laksana Tuhan yang tidak boleh dibantah dan diubah. Ibarat syetan yang harus ditakuti kekeramatannya. Dan rakyat membayar mahal 20 milyar untuk sebuah pesta bicara tersebut. Bukan sekedar ini masalah kuantitas nominal jugan harga diri dan kehormatan sebagai manusia dimata tuhannya. Gelora jiwa sebagian besar masyarakat Indonesia yang takut akan kekuasaan-Nya, termentahkan dengan ditolaknya syariat Islam masuk kedalam undang-undang. Mereka seolah berkata, wahai Tuhan, Engkau boleh menciptakan alam semesta untuk kami, Engkau boleh memberikan udara dan air untuk kehidupan kami, Engkau boleh ciptakan tumbuh-tumbuhan, hewan, matahari, angin, laut dan apapun untuk kesejahteraan kami. Tapi, jangan sekali-kali Engkau campuri kehidupan kami wahai Tuhan, Kami lebih mengetahui tentang kehidupan kami daripada diri-Mu. Kami dapat menciptakan aturan yang lebih baik darimu. Jangan sekali-kali Engkau atur kami dengan aturan dan kehendak-Mu, jangan kekang kami dengan syari'at-Mu. Persetan denganmu Wahai Tuhan, persetan dengan syariat Islam ! Tinggalkan kami !!!

Di Negeri Ini Nurani Berada Dalam Penjara Es

Beberapa kilometer dari puncak pass, terbentang sebuah keangkuhan jiwa-jiwa dalam gemerlap dunia. Berhektar-hektar pepohonan pupus seiring berdirinya istana-istana tanpa nurani. Mengusir tuan-tuan pemilik tanah dengan impian yang dihembuskan. Tak peduli apakah sang tanah menceracau dan sang air melabrak jejak-jejaknya yang tertimbun sang istana. Episode kota bunga semerbak yang bertetangga dengan (kota) bunga liar dan rerumputan.

Di Negeri ini Nurani Masuk Ke Dalam Kantong

Pejabat wilayah yang setuju sebuah pulau menjadi tempat kemaksiatan, kawasan judi dan pelacuran 'berhasil' di terima pertanggung jawabannya oleh sebagian besar pejabat juga. Sementara mata-mata yang memicingkan jabatannya telah rela mengeluarkan ratusan bahkan milyaran dana -yang entah didapat darimana- untuk merebut tahtanya tersebut.

Negeri Ini Miskin Nurani

Sebuah barisan putih nan panjang yang meneriakkan sebuah ungkapan cinta dalam persaudaraan dalam Islam dicap fundamentalis. Sebuah komunitas penggerak perubahan dalam jubah-jubahnya menjadi sasaran water canon dan target empuk senapan kata saudaranya sendiri. Sementara barisan hitam nun jauh di sana berperut tambun penuh dengan harta neraka berfoya-foya tanpa rasa malu pada Rabb mereka, mereka menamakan diri mereka sendiri sebagai kaum penyelamat bangsa.

Ini hanya sebuah contoh kecil dari keterbangkrutan akhlak manusia muslim di Indoensia saat ini. Dari mulai anak-anak yang pandai berbohong hasil pembelajaran dari orang tua yang berdusta, sampai kepada perkosaan kekayaan bumi pertiwi dan perkosaan rasa malu serta harga diri. Malu, sudah menjadi makhluk yang tak laku lagi pada sebagian manusia. Bagi sebagian yang lain, malu merupakan barang mewah yang sulit dimiliki. Terbuktilah hadits Rasulullah sejak empat belas abad yang lalu memang sudah mewanti-wanti, bahwa nurani dan rasa malu adalah merupakan suatu yang amat mahal pada akhir zaman yang pada masa itu orientasi keduniawian menjatuhkan diri manusia pada kepentingan sesaat. Tak peduli apakah ia menjatuhkan harga dirinya ataupun membuat luka pada jiwa dan raga orang lain.

Bisa jadi memang hal ini tidak menggambarkan secara utuh potret wajah negeri ini namun inilah realita yang sering kita temui. Dan ini menggelombang takkala apatisme telah menjadi darah dan nafas sebagian besar masyarakat. Jika ini terjadi dan kemaksiatan dalam segala bentuknya begitu mendominasi, Allah memberikan sebuah janji, bukan suatu kemustahilan Allah akan mengganti kaum yang telah tercerabut akhlaknya ini dengan sebuah kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah.

Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mengganti (mu) dengan makhluk yang baru, (Qs. Ibraahim (14):19)

Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). (Qs. Al faathir (35):16)

…..Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini). (Qs. Muhammad (47):38)

…..Dan Rabb-ku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (yang lebih baik dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudharat kepada-Nya sedikitpun. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pemelihara segala sesuatu. (Qs. Huud (11):57)

Rupanya kemerdekaan yang kita didapatkan dan kita gaungkan selama ini bukanlah kemerdekaan yang hakiki. Padahal semenjak seorang manusia mengucapkan sebuah kalimat yang menggetarkan dunia, sebuah kalimat yang melepaskan ikatan-ikatan dunia, sebuah kalimat yang melepaskan ketundukan dan kepatuhan kepada segala sesuatu hanya kepada sesuatu yang hakiki, sebuah kalimat yang lebih berat dari bumi dengan segala isinya, LAAA ILAAAHA ILLA ALLAH, pada saat itu pula ia menjadi manusia yang merdeka. Tiada Ilah yang harus dipertuhankan kecuali Allah. Tiada hukum yang harus ditegakkan kecuali hukum Allah. Tiada yang patut ditakuti kecuali Allah. Tiada yang patut disembah kecuali Allah semata. Tiada yang paling dicintai kecuali Allah. Bagaimana rapuhnya pemahaman sebagian besar umat Islam saat ini akan aqidahnya sendiri. Pendidikan agama yang didapatkan selama ini hanya sedikit sekali yang menyentuh aqidah secara mendalam. Padahal, Rasulullah sebagai qudwah hasanah kita, mendidik para sahabat dengan aqidah tidak kurang dari 13 tahun lamanya. Sebuah waktu yang cukup lama untuk sebuah kata 'materi' pendidikan. Lemahnya aqidah mengakibatkan seseorang tidak ada ikatan yang kuat dengan pencipta-Nya. Hidupnya akan di jalankan apa adanya. Tidak ada harapan yang membuncah akan balasan jika ia melakukan ketaatan. Dan sedikit sekali ketakutan akan kemurkaan Allah atas kemaksiatan yang telah dilakukannya. Tidak ada sinkronisasi antara ucapan dengan jiwa dan pemahaman terlebih lagi dengan amalan kehidupan. Deklarasi kemerdekaan hanya sampai mulut dan terhenti di tenggorokan. Ia tidak merdeka sesungguhnya, ia masih terikat dengan belenggu cinta yang melebihi cinta pada-Nya. Jiwanya yang tidak merdeka inilah yang membuat kertergantungan-ketergantungan dalam segala lini kehidupan kepada selain Allah.

Dari kelemahan aqidah tersebut akan muncul jiwa-jiwa kerdil yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Bagaimana tidak, seseorang yang tidak merasa bahwa kehidupannya sejak ia tidur kemudian beraktivitas sampai tidur kembali, ditatap oleh sebuah kekuatan yang tidak lengah sedikitpun, tidak akan memikirkan orang lain. Bukankah orang besar adalah orang-orang yang justru memikirkan nasib orang lain dan orang-orang kerdil adalah orang-orang yang tidak memikirkan apalagi mementingkan orang lain dan hanya memikirkan dirinya sendiri ?

Sifat muroqobah inilah yang dapat membangun jiwa senantiasa dalam koridor perbaikan diri, masyarakat dan negara. Ia tidak akan melakukan kemaksiatan ketika ramai maupun sepi.

Jiwa-jiwa yang mementingkan diri ini bukan hanya dalam hal keburukan melainkan juga dalam hal kebaikan. Masih banyak diantara kita yang merasa cukup untuk menjadi sholih sendiri dan tidak perlu mengajak orang lain untuk menjadi sholih pula. Padahal, kesholihan pribadi tidak cukup untuk mengantarkan seseorang dalam posisi derajat yang mulia. Kesholihan pribadi (sholihus sakhsiyyah) harus diimbangi dengan kesholihan sosial atau masyarakat sholihu' jami'iyyah). Bukankah lantaran salah satu sebab ini (tidak adanya usaha-usaha menjadikan masyrakat sholih/hidupnya amar ma'ruf dan nahi munkar) Allah menghancurkan bani Israil ?

Setiap zaman punya penyakit dan masalah sendiri, dan sepanjang zaman juga punya penyakit dan masalahnya sendiri. Apa yang telah disebutkan diatas adalah merupakan sedikit dari penyakit yang terjadi atas umat zaman ini. Bagi seorang 'alim yang rabbani ialah yang mampu mengobati penyakit-penyakit kontemporer dan penyakit-penyakit sepanjang masa.

Jika kita renungkan kembali, bagaimana Allah memberikan balasan bagi seseorang yang mencoba melakukan amar ma'ruf nahi munkar -berupa sesuatu yang jauh lebih baik daripada bumi dengan segala isinya-, tentulah setiap pribadi-pribadi muslim akan menjadikan pekerjaan ini sebagai pekerjaan utamanya dalam kehidupannya tanpa melepaskan kehidupan dunia itu sendiri.

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri '(Qs. Fushshilat (41):33)

Jadi, perlu usaha-usaha mendasar dan berkelanjutan untuk mengatasi permasalahan yang cukup kronis ini. Dan bisa jadi, tidak cukup satu generasi tetapi beberapa generasi kedepan. Untuk itu diperlukan da'i-da’i yang tangguh yang memahami dan mengobati penyakit yang mewabah dalam masyarakatnya. Hingga pada suatu hari nanti, ketika kita membuka jendela rumah kita di pagi hari, hati kita berkata, di negeri ini nurani telah kembali….

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan aya-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Qs. Jum'ah (62):2).

Semoga Alah melimpahkan Hidayah-Nya pada kita semua, dan semoga kita semua terus berada di jalan-Nya, takut namun cinta pada-Nya melebihi pada selain-Nya, dan selalu berada dalam jama’ah hamba-hamba-Nya hingga Izrail menjemput kita, hingga hembusan terakhir nafas kita…

1 comments:

Administrator said...

Mantaps postnya...

Post a Comment

Design by Abdul Munir